Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan

HENTIKAN PREMANISME USAHA, TAPI JANGAN LUPA KOREKSI DIRI

Gambar : Amplop 

Suwarakita, [27/3/2025] – Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer (Noel), dengan tegas mengecam aksi premanisme yang dilakukan oleh sejumlah organisasi masyarakat (ormas) dalam memalak para pengusaha. Menurutnya, tindakan semacam ini tidak hanya merugikan dunia usaha, tetapi juga menghambat iklim investasi di Indonesia.

Namun, dalam menyikapi persoalan ini, penting bagi semua pihak untuk melihat secara lebih objektif dan berimbang. Sejarah mencatat bahwa dalam berbagai kesempatan, banyak pengusaha juga memanfaatkan ormas untuk "pengondisian" lokasi sebelum memulai usahanya. Tidak jarang, hubungan ini didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak, sehingga praktik ini menjadi sesuatu yang berlangsung secara mutual.

Maka dari itu, dalam penanganan kasus seperti ini, penting untuk tidak menggeneralisasi seluruh ormas sebagai pelaku pemalakan. Ada banyak ormas yang berperan positif dalam mendukung masyarakat dan pembangunan. Penggunaan istilah "oknum" harus lebih dikedepankan, sebagaimana kita juga menggunakan istilah tersebut dalam kasus pejabat yang korup atau pengusaha yang bermain curang.

Lebih dari sekadar menyoroti tindakan ormas tertentu, ada permasalahan yang lebih mendesak, yaitu pemberantasan korupsi yang sudah mengakar di berbagai lini. Jika korupsi bisa diberantas, maka iklim usaha yang sehat dapat terwujud, dan tidak akan ada lagi praktik-praktik yang merugikan baik bagi pengusaha maupun masyarakat.

Pemerintah diharapkan tidak hanya menindak "oknum" ormas yang melakukan pemerasan, tetapi juga memastikan regulasi usaha yang adil dan bebas dari korupsi. Dengan demikian, tidak hanya dunia usaha yang mendapatkan perlindungan, tetapi juga masyarakat luas yang ingin mencari nafkah dengan cara yang benar. 
Penulis : Muhamad Sarman. 


Korupsi Beras: Cermin Bobroknya Tata Kelola Pangan Negeri Ini

Suwarakita.com ( Kamis 22/3/2025) - Kasus dugaan penggelembungan harga beras impor oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Perum Bulog yang dilaporkan ke KPK semakin menambah panjang daftar skandal korupsi di negeri ini. Dengan selisih harga mencapai Rp 2,7 triliun untuk 2,2 juta ton beras, publik pantas bertanya: sampai kapan rakyat harus menjadi korban permainan busuk para pejabat?

Persoalan pangan seharusnya menjadi prioritas utama negara, karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun, justru di sektor ini, permainan harga, monopoli, hingga dugaan korupsi terus terjadi. Ironisnya, kejadian semacam ini bukan yang pertama. Kita masih ingat berbagai skandal serupa di masa lalu, mulai dari kasus korupsi impor daging sapi, gula, hingga minyak goreng.

Dampaknya jelas: harga beras di pasaran terus melambung, sementara rakyat semakin kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya. Para petani pun terpinggirkan, kalah oleh kebijakan impor yang lebih menguntungkan segelintir pihak. Pemerintah selalu berdalih bahwa impor diperlukan untuk menjaga stabilitas harga dan stok pangan, tetapi kenyataannya, kebijakan ini seringkali hanya menjadi ladang basah bagi mafia pangan.

Yang lebih menyedihkan, kasus-kasus seperti ini kerap berakhir tanpa hukuman yang sepadan. Banyak pejabat yang terjerat kasus korupsi tetap hidup mewah setelah menjalani hukuman yang ringan. Inilah yang membuat praktik korupsi terus subur di negeri ini.

Jika ingin keluar dari lingkaran setan ini, diperlukan ketegasan dari aparat penegak hukum dan kesadaran masyarakat untuk terus mengawasi. Kasus dugaan korupsi beras impor ini harus diusut tuntas, dan jika terbukti, pelakunya harus dihukum berat. Jangan biarkan korupsi di sektor pangan menjadi penyakit yang terus merugikan rakyat kecil.

Negeri ini sudah terlalu lama dikoyak oleh korupsi. Saatnya bersikap tegas dan tidak lagi mentoleransi praktik kotor yang hanya menguntungkan segelintir orang, sementara rakyat semakin tercekik oleh harga kebutuhan pokok yang tak terkendali.
Editor : MSar

Opini: Jangan Menyamaratakan, Ormas Bukan Musuh Publik


Belakangan ini, isu permintaan tunjangan hari raya (THR) oleh organisasi kemasyarakatan (Ormas) kepada pelaku usaha menjadi sorotan publik. Beberapa pihak menilai bahwa praktik ini meresahkan, bahkan seolah-olah semua Ormas melakukan pemaksaan terhadap perusahaan. Namun, dalam melihat persoalan ini, kita harus lebih objektif dan tidak gegabah dalam memberikan label buruk kepada Ormas secara keseluruhan.

Pertama, tidak semua Ormas melakukan tindakan yang dianggap sebagai pemalakan. Ada banyak Ormas yang menjalankan fungsi sosial, keagamaan, dan kemasyarakatan dengan baik tanpa harus meminta-minta kepada pelaku usaha. Jika ada individu atau kelompok dalam Ormas yang bertindak di luar batas, maka itu adalah oknum, bukan representasi Ormas secara keseluruhan. Menggeneralisasi seluruh Ormas sebagai biang kerok permasalahan justru tidak adil dan berpotensi merusak citra organisasi yang memiliki kontribusi positif bagi masyarakat.

Kedua, fenomena THR ini kerap dibesar-besarkan, seolah-olah menjadi ancaman utama bagi dunia usaha. Padahal, masalah yang jauh lebih besar dan berdampak sistemik seperti korupsi justru sering kali tidak mendapat perhatian yang setara. Kita bisa bertanya, mengapa praktik korupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah tidak mendapatkan reaksi yang sama besarnya? Kenapa kasus yang dilakukan oknum Ormas lebih mudah menjadi bahan kecaman dibandingkan perilaku koruptif yang jelas-jelas merugikan rakyat kecil?

Ketiga, jika memang ada pelanggaran yang dilakukan oleh oknum Ormas, maka penegakan hukumlah yang harus berbicara. Jangan sampai wacana ini justru menjadi alat untuk menyudutkan Ormas yang pada dasarnya juga memiliki peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Apalagi, di banyak daerah, Ormas juga sering kali menjadi garda terdepan dalam membantu warga yang membutuhkan, terutama dalam situasi darurat.

Oleh karena itu, kita perlu bersikap bijak dalam menyikapi persoalan ini. Jangan sampai opini yang berkembang justru menjadi alat untuk mendiskreditkan Ormas secara keseluruhan, sementara masalah yang lebih besar seperti korupsi dan ketidakadilan ekonomi justru luput dari perhatian. Mari kita lihat permasalahan ini secara proporsional dan tetap mengedepankan prinsip keadilan dalam menilai segala sesuatu. Salam Nalar, Akal waras. 
Penulis : Muhamad Sarman. 

Percepatan Pembentukan 70.000 Koperasi Desa Merah Putih, Siap Diluncurkan Juli 2025

Gambar dilansir dari CNNB Indonesia: Menteri Koperasi Indonesia Budi Arie Setiadi saat ditemui di Kawasan Istana Bogor, Jumat (3/1/2025). 


Jakarta, Suarakyat – Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM resmi mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pembentukan Koperasi Desa Merah Putih. Kebijakan ini menandai percepatan pembentukan 70.000 koperasi desa yang ditargetkan rampung pada akhir Juni 2025 dan siap diluncurkan secara resmi pada 12 Juli 2025.

Menteri Koperasi dan UKM, Budi Arie Setiadi, menegaskan bahwa program ini bertujuan untuk memperkuat ekonomi desa dengan memanfaatkan potensi lokal dan menciptakan ekosistem bisnis yang berkelanjutan. "Koperasi Desa Merah Putih hadir untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dengan konsep koperasi yang mandiri, modern, dan sesuai dengan kebutuhan lokal," ujarnya.

Konsep dan Mekanisme Pembentukan
Pembentukan Koperasi Desa Merah Putih akan dilakukan melalui tiga cara:
1. Pembentukan baru di desa yang belum memiliki koperasi.
2. Pengembangan koperasi yang sudah ada agar lebih produktif.
3. Revitalisasi koperasi yang kurang aktif agar kembali berfungsi optimal.

Sesuai aturan, setiap koperasi akan diberi nama dengan format "Koperasi Desa Merah Putih [Nama Desa]". Pengurus dan pengawas koperasi akan dipilih melalui musyawarah desa, dengan kepala desa bertindak sebagai ketua pengawas ex-officio.

Jenis Usaha yang Dikembangkan
Koperasi Desa Merah Putih akan berperan sebagai pusat ekonomi desa dengan berbagai unit usaha, antara lain:

Gerai penyediaan sembako dan obat murah, Unit simpan pinjam koperasi, Gerai klinik desa, Gudang penyimpanan hasil pertanian dan perikanan (cold storage) Logistik dan distribusi barang, Usaha lain yang sesuai dengan kebutuhan desa, Mekanisme Pengawasan dan Evaluasi

Untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas program, pengawasan akan dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa PDTT, serta pemerintah daerah. Evaluasi berkala akan dilaksanakan setiap enam bulan setelah peluncuran.

Melalui program ini, pemerintah optimis koperasi desa dapat menjadi motor penggerak ekonomi lokal yang kuat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta mewujudkan desa yang mandiri dan sejahtera.
Editor : MSar



Kasus Pertamina Menjadi Bola Panas

Gambar sumber:Kompascom

SuaRakyat - Ahok mengaku terkejut setelah diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Subholding dan KKKS tahun 2018-2023. Dia mengatakan banyak hal yang ternyata tidak dia ketahui sebelumnya setelah mendengar pertanyaan dari penyidik.

Hal ini menarik karena sebagai mantan Komisaris Utama Pertamina, seharusnya dia memiliki pemahaman mengenai kebijakan dan pengelolaan perusahaan. Namun, pengakuannya menunjukkan bahwa ada kemungkinan ketidakterbukaan atau mekanisme yang tidak melibatkan komisaris dalam beberapa keputusan strategis.

Pernyataan Ahok ini menunjukkan bahwa ada praktik di dalam Pertamina yang mungkin tidak sepenuhnya transparan, bahkan bagi komisaris utama sekalipun. Jika benar ada fraud atau transfer mencurigakan yang baru diketahuinya saat diperiksa, berarti ada mekanisme pengelolaan yang tidak berjalan dengan baik atau bahkan ada upaya untuk menyembunyikan informasi dari jajaran komisaris.

Ini juga bisa menandakan bahwa dalam perusahaan sebesar Pertamina, ada kemungkinan oknum-oknum tertentu yang memainkan peran di belakang layar tanpa sepengetahuan pihak-pihak yang seharusnya mengawasi. Jika dugaan ini benar, kasus ini bisa semakin membesar dan menyeret lebih banyak pihak.

Kalau melihat skala kasus ini—melibatkan tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Subholding dan KKKS selama 2018-2023—bukan tidak mungkin akan menyeret banyak pihak, baik dari internal Pertamina, kontraktor, maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Biasanya, dalam kasus korupsi di sektor energi, ada jaringan yang cukup luas, mulai dari pejabat di dalam perusahaan, penyedia jasa atau kontraktor, hingga kemungkinan keterlibatan pihak pemerintahan atau regulator. Jika benar ada fraud dan transfer mencurigakan, pasti ada aliran uang yang perlu ditelusuri lebih lanjut.

Kasus ini bisa jadi bola panas, tergantung seberapa serius aparat penegak hukum menanganinya. Jika diusut tuntas, bisa menyeret banyak nama besar. Tapi kalau hanya jadi "pengalihan isu" atau ada kepentingan tertentu, bisa saja berhenti di level tertentu tanpa menyentuh aktor utama.

Ya, harapan masyarakat tentu kasus ini diusut tuntas dan tidak berhenti di level bawah saja. Pertamina adalah perusahaan strategis yang mengelola sumber daya besar, sehingga jika ada korupsi di dalamnya, dampaknya sangat luas—mulai dari kerugian negara hingga kenaikan harga BBM yang akhirnya membebani rakyat.

Tapi kita juga tahu, sering kali kasus besar seperti ini justru berakhir tanpa kejelasan atau hanya menjadikan beberapa orang sebagai kambing hitam. Semoga kali ini berbeda, dan ada keberanian dari aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan korupsi di dalamnya.

Kalau benar banyak pihak yang terlibat, bisa jadi ini momentum untuk reformasi besar-besaran di Pertamina. Kita lihat saja bagaimana kelanjutannya. Semoga tidak hanya jadi drama sesaat yang kemudian hilang tanpa jejak.(Sumber: Kompas.com - MSar)