Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Opini: Jangan Hanya Menyoroti Ormas, Siapa Saja yang Minta THR ke Perusahaan?




Belakangan ini, muncul berbagai pemberitaan yang menyoroti organisasi masyarakat (ormas) dan LSM yang diduga meminta Tunjangan Hari Raya (THR) kepada perusahaan. Narasi yang berkembang seolah-olah hanya oknum dari kelompok ini yang melakukan praktik tersebut. Namun, jika kita berpikir lebih luas dan realistis, benarkah hanya ormas yang melakukan hal ini?

Dalam praktiknya, permintaan THR tidak selalu datang dari ormas atau LSM saja. Lembaga atau instansi yang memiliki hubungan erat dengan perusahaan juga bisa terlibat dalam praktik serupa. Misalnya, ada dugaan bahwa oknum di instansi tertentu yang sering berurusan dengan perusahaan—baik dari sektor perizinan, pengawasan, atau pelayanan publik—juga ikut ‘memanfaatkan momen’ menjelang hari raya.

Jika kita ingin memberantas praktik ini secara adil, maka tidak bisa hanya menyudutkan satu kelompok saja. Pemerintah, masyarakat, dan media perlu mengedepankan transparansi dan menyoroti semua pihak yang terlibat dalam kebiasaan ini. Jika memang ada pelanggaran hukum atau etika, siapapun yang terlibat harus mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Persoalannya, apakah ada keberanian dari pihak perusahaan untuk menolak permintaan THR yang datang dari oknum instansi yang keberadaannya sangat vital bagi perusahaan? Ini menjadi dilema besar, karena sering kali perusahaan terjebak dalam situasi di mana menolak bisa berisiko mengganggu kelancaran operasional mereka. Inilah yang menyebabkan praktik ini terus berlangsung, karena ada ketimpangan kekuasaan yang sulit dihindari.

Yang lebih penting, perusahaan juga harus berani menolak permintaan yang tidak sesuai prosedur dan melaporkannya jika ada unsur pemaksaan. Standar Operasional Prosedur (SOP) di setiap perusahaan sudah mengatur mekanisme pemberian THR kepada karyawan, bukan kepada pihak-pihak eksternal yang tidak berhak.

Momen hari raya seharusnya menjadi ajang untuk meningkatkan solidaritas sosial, bukan kesempatan untuk membebani perusahaan dengan kewajiban di luar ketentuan yang ada. Oleh karena itu, mari bersama-sama membangun budaya yang lebih sehat dan transparan dalam hubungan antara perusahaan, lembaga, dan masyarakat. Penulis : Muhamad Sarman



Opini : Jangan Takut Bicara, Tapi Pahami Batasnya

Gambar : MSar, Belajar memahami suasana saat sahur, Beropini Jangan Takut Bicara, Tapi Pahami Batasnya

Suwarakita, (Senin,25/3/2025) - Di tengah maraknya kasus korupsi dan ketidakadilan di negeri ini, rakyat sering kali merasa serba salah. Ketika melawan, ada risiko dikriminalisasi. Ketika diam, justru menjadi korban permainan politik. Situasi ini membuat banyak orang memilih jalan tengah: mengeluh tanpa tindakan nyata. Padahal, di era digital ini, suara rakyat bisa menjadi kekuatan besar untuk perubahan.

Namun, ada satu hal yang harus disadari: berbicara itu hak, tetapi harus dilakukan dengan cerdas. Salah berbicara bisa menjadi bumerang. Fakta menunjukkan bahwa banyak orang yang akhirnya terseret masalah hukum karena tidak memahami batasan dalam menyampaikan pendapat. Maka dari itu, penting bagi rakyat untuk tetap kritis, tetapi dengan strategi yang tepat.

Berbicara dengan Data, Bukan Hanya Emosi

Banyak orang yang marah terhadap ketidakadilan, lalu mengungkapkan kekesalannya di media sosial dengan kata-kata kasar atau tuduhan tanpa bukti. Ini justru menjadi celah bagi pihak berwenang untuk menjerat mereka dengan berbagai undang-undang, seperti UU ITE. Oleh karena itu, jika ingin menyuarakan ketidakadilan, gunakan data dan fakta yang valid. Jangan asal menuduh tanpa dasar, karena itu bisa menjadi senjata makan tuan.

Pilih Media yang Tepat

Di era digital, media sosial memang menjadi sarana utama untuk menyampaikan pendapat. Namun, ada cara lain yang lebih efektif, seperti menulis opini di media massa, membuat petisi online, atau berdiskusi dalam forum yang lebih luas. Dengan demikian, suara yang disampaikan tidak hanya sekadar emosi sesaat, tetapi benar-benar memiliki dampak.

Bersikap Kritis Tanpa Menyerang Pribadi

Kritik yang sehat adalah kritik terhadap kebijakan, bukan serangan terhadap individu. Menyebut pejabat sebagai "koruptor" tanpa bukti bisa berujung pada tuntutan hukum. Namun, mengkritik kebijakan yang merugikan rakyat dengan data dan argumen yang kuat adalah hak yang tidak bisa dibungkam.

Gunakan Hukum sebagai Perisai

Banyak orang takut berbicara karena khawatir terkena pasal hukum. Padahal, jika memahami aturan yang ada, justru bisa menggunakan hukum sebagai pelindung. Misalnya, jika ada kasus korupsi, rakyat bisa melaporkannya ke lembaga yang berwenang seperti KPK atau Ombudsman, bukan sekadar berteriak di media sosial tanpa tindakan konkret.

Kesimpulan

Bersuara itu penting, tetapi lebih penting lagi memahami bagaimana cara berbicara yang aman dan efektif. Jangan takut menyuarakan ketidakadilan, tetapi jangan pula asal berbicara tanpa memahami batasnya. Dengan strategi yang tepat, suara rakyat bisa menjadi kekuatan yang tidak bisa diabaikan.

Jika kita ingin perubahan, maka kita harus menjadi bagian dari solusi. Bukan sekadar menjadi korban keadaan, tetapi menjadi rakyat yang cerdas dalam menyuarakan kebenaran. Salam Nalar, Akal Waras. Penulis : Muhamad Sarman. 

Opini Publik: Budaya Diam dalam Masyarakat Desa terhadap Dugaan Penyelewengan Pemerintahan

Opini Publik: Budaya Diam dalam Masyarakat Desa terhadap Dugaan Penyelewengan Pemerintahan

Oleh : Muhamad Sarman (Paralegal Kantor Hukum Hide Law Associate Surakarta) 

Di banyak desa, dugaan penyelewengan dalam pemerintahan sering kali menjadi rahasia umum yang tidak berujung pada tindakan nyata. Bukan karena masyarakat tidak menyadari adanya penyimpangan, tetapi karena mereka memilih untuk diam. Bukan pula karena mereka tidak berani, melainkan karena mereka merasa tidak ada gunanya berbicara.

Budaya "ewuh pakewuh" masih kuat tertanam di masyarakat desa. Rasa segan dan menghormati pemimpin, terutama jika mereka memiliki pengaruh sosial yang besar, membuat warga ragu untuk mengkritik atau mengajukan protes. Ada ketakutan bahwa bersuara bisa membawa konsekuensi sosial, seperti dikucilkan atau dianggap sebagai pembuat onar.

Di sisi lain, ada juga faktor pesimisme. Masyarakat cenderung berpikir bahwa melaporkan hanya akan berakhir sia-sia. Mereka sudah sering melihat berbagai kasus yang dilaporkan tetapi tidak mendapat tindak lanjut yang jelas. Hal ini membuat mereka semakin apatis, memilih untuk tidak peduli dengan urusan pemerintahan desa, dan lebih fokus pada kehidupan sehari-hari mereka.

Selain itu, minimnya pengetahuan mengenai mekanisme pelaporan juga menjadi hambatan. Banyak warga tidak tahu harus melapor ke mana dan bagaimana prosesnya agar laporan mereka mendapat perhatian. Ditambah lagi, ketidakmampuan mengakses bukti yang cukup sering menjadi alasan warga untuk tidak mengambil langkah lebih jauh.

Akibat dari semua ini, banyak dugaan penyelewengan yang terus terjadi tanpa ada upaya perbaikan. Pemerintahan desa yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat justru bisa berjalan tanpa pengawasan yang kuat dari warganya sendiri.

Maka, penting bagi masyarakat untuk mulai memahami hak dan peran mereka dalam mengawasi jalannya pemerintahan desa. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi budaya yang diperjuangkan bersama, bukan hanya menjadi tanggung jawab segelintir orang. Jika terus dibiarkan, maka praktik-praktik yang merugikan masyarakat akan semakin mengakar dan sulit diubah.

Tidak harus selalu dengan protes atau laporan formal, tetapi membangun kesadaran kritis dan keterlibatan aktif dalam kebijakan desa bisa menjadi langkah awal. Masyarakat perlu sadar bahwa desa adalah milik bersama, dan pemerintahan yang bersih hanya bisa terwujud jika warganya tidak hanya diam dan pasrah.

Opini : "Koperasi Desa: Solusi Ekonomi atau Ladang Baru Korupsi?"

Opini : "Koperasi Desa: Solusi Ekonomi atau Ladang Baru Korupsi?"



Oleh : Muhamad Sarman (Kordinator LPK Trankonmasi Jawa Tengah) 

Pembentukan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih yang diawasi langsung oleh Mendagri Tito Karnavian dan Menkop Budi Arie Setiadi, serta melibatkan aparat penegak hukum, menunjukkan bahwa pemerintah ingin memastikan koperasi ini berjalan dengan transparan dan tidak disalahgunakan.

Namun, di lapangan, efektivitas pengawasan ini masih menjadi tanda tanya. Banyak program pemerintah sebelumnya yang memiliki niat baik tetapi tetap rawan diselewengkan, terutama jika tidak ada kontrol ketat dari masyarakat. 

Jika koperasi ini dikelola dengan baik, tentu bisa membantu perekonomian desa. Tapi jika malah jadi ajang bancakan elite atau kelompok tertentu, rakyat kecil yang seharusnya mendapat manfaat justru bisa dirugikan.

Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dengan Kopdes Merah Putih ini.
1. Jika dikelola dengan baik, koperasi bisa menjadi alat untuk mengangkat ekonomi desa. Masyarakat desa bisa mendapatkan akses modal yang lebih mudah, meningkatkan produksi pertanian atau usaha kecil, dan menciptakan lapangan kerja. Jika koperasi benar-benar berpihak kepada rakyat, ini bisa menjadi solusi nyata bagi ketimpangan ekonomi antara desa dan kota.
2. Jika disalahgunakan, koperasi ini justru bisa menjadi ajang korupsi dan kepentingan segelintir pihak. Pengelolaan yang tidak transparan, dana yang dikorupsi, atau hanya menguntungkan kelompok tertentu bisa membuat rakyat kecil justru semakin terpinggirkan. Apalagi jika pengawasan hanya formalitas dan aparat penegak hukum hanya sekadar simbol tanpa tindakan nyata.

Banyak program di masa lalu yang niatnya bagus, tapi akhirnya menjadi proyek yang menguntungkan elite saja. Apakah pemerintah kali ini bisa memastikan koperasi ini benar-benar berjalan untuk rakyat, atau malah jadi masalah baru di desa? Itu yang harus kita kawal bersama.

Pernyataan Tito tentang mekanisme pengawasan Kopdes Merah Putih melalui Badan Musyawarah Desa (BPD) terdengar ideal di atas kertas. BPD memang berfungsi seperti DPRD versi desa, yang punya kewenangan mengawasi kebijakan kepala desa dan bisa mengusulkan pemakzulan jika ada pelanggaran.

Namun, dalam praktiknya, apakah BPD benar-benar independen dan berani menindak kepala desa yang menyimpang? 

Banyak kasus di desa menunjukkan bahwa BPD sering kali kurang berdaya karena beberapa alasan:
1. BPD dan kepala desa sering "main mata", apalagi jika ada kepentingan politik atau ekonomi bersama.
2. Masyarakat desa cenderung segan melawan kepala desa, terutama di daerah di mana kepala desa memiliki pengaruh kuat.
3. Proses pemakzulan kepala desa sulit dan memerlukan banyak dukungan, yang bisa saja dihambat oleh birokrasi atau tekanan politik.

Kalau memang pengawasan ini ingin efektif, harus ada jaminan bahwa BPD bisa bekerja tanpa tekanan dan masyarakat desa benar-benar diberi ruang untuk mengawasi koperasi ini secara transparan. Kalau tidak, pengawasan hanya akan jadi formalitas belaka.