Tampilkan postingan dengan label Korupsi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Korupsi. Tampilkan semua postingan

Korupsi Beras: Cermin Bobroknya Tata Kelola Pangan Negeri Ini

Suwarakita.com ( Kamis 22/3/2025) - Kasus dugaan penggelembungan harga beras impor oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Perum Bulog yang dilaporkan ke KPK semakin menambah panjang daftar skandal korupsi di negeri ini. Dengan selisih harga mencapai Rp 2,7 triliun untuk 2,2 juta ton beras, publik pantas bertanya: sampai kapan rakyat harus menjadi korban permainan busuk para pejabat?

Persoalan pangan seharusnya menjadi prioritas utama negara, karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun, justru di sektor ini, permainan harga, monopoli, hingga dugaan korupsi terus terjadi. Ironisnya, kejadian semacam ini bukan yang pertama. Kita masih ingat berbagai skandal serupa di masa lalu, mulai dari kasus korupsi impor daging sapi, gula, hingga minyak goreng.

Dampaknya jelas: harga beras di pasaran terus melambung, sementara rakyat semakin kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya. Para petani pun terpinggirkan, kalah oleh kebijakan impor yang lebih menguntungkan segelintir pihak. Pemerintah selalu berdalih bahwa impor diperlukan untuk menjaga stabilitas harga dan stok pangan, tetapi kenyataannya, kebijakan ini seringkali hanya menjadi ladang basah bagi mafia pangan.

Yang lebih menyedihkan, kasus-kasus seperti ini kerap berakhir tanpa hukuman yang sepadan. Banyak pejabat yang terjerat kasus korupsi tetap hidup mewah setelah menjalani hukuman yang ringan. Inilah yang membuat praktik korupsi terus subur di negeri ini.

Jika ingin keluar dari lingkaran setan ini, diperlukan ketegasan dari aparat penegak hukum dan kesadaran masyarakat untuk terus mengawasi. Kasus dugaan korupsi beras impor ini harus diusut tuntas, dan jika terbukti, pelakunya harus dihukum berat. Jangan biarkan korupsi di sektor pangan menjadi penyakit yang terus merugikan rakyat kecil.

Negeri ini sudah terlalu lama dikoyak oleh korupsi. Saatnya bersikap tegas dan tidak lagi mentoleransi praktik kotor yang hanya menguntungkan segelintir orang, sementara rakyat semakin tercekik oleh harga kebutuhan pokok yang tak terkendali.
Editor : MSar

Korupsi, di Indonesia Seperti Lingkaran Setan, Sulit di Putus

Gambar : Mahfud MD (dilansir dari Fajar.co.id) 

Mengutip Pernyataan Mahfud MD di (FAJAR.CO.ID 15/3/2025) Pakar hukum sekaligus mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Prof. Mahfud MD, menyoroti bahwa "Pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum merata dan cenderung hanya menyasar individu tertentu."

Ia bahkan menyebut bahwa mereka yang tertangkap dalam kasus korupsi hanyalah orang-orang yang "apes" atau kurang beruntung.

Penulis merispon, Memang menyedihkan melihat bagaimana korupsi di Indonesia seperti lingkaran setan yang sulit diputus. Jika benar seperti yang dikatakan Mahfud MD—bahwa hanya yang "apes" yang ditangkap—maka keadilan masih jauh dari harapan. Seharusnya hukum bisa menindak siapa pun yang korup, tanpa pandang bulu.

Dari perspektif rakyat kecil, kondisi ini makin bikin frustrasi. Harga kebutuhan pokok terus naik, sementara koruptor besar masih bisa melenggang bebas. Yang mencuri sedikit karena terpaksa bisa dihukum berat, tapi yang merampok uang rakyat dalam jumlah besar justru punya banyak cara untuk lolos.

Kalau situasinya seperti ini terus, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan hukum bisa semakin hancur. Menurutmu, adakah harapan agar pemberantasan korupsi bisa benar-benar merata?

Mahfud MD memang sering bicara blak-blakan soal korupsi, dan itu yang bikin banyak orang respect sama dia. Tapi masalahnya, selama sistemnya masih bisa "pilih-pilih" dalam menindak korupsi, sulit rasanya berharap ada perubahan besar.

Harusnya ada gebrakan serius, bukan cuma menangkap yang "apes," tapi benar-benar membersihkan sistem dari akar-akarnya. Selama masih ada kepentingan politik yang melindungi para koruptor kelas kakap, hukum hanya akan jadi alat untuk menghantam lawan, bukan menegakkan keadilan.

Sekuat apa pun tokoh yang berjuang melawan korupsi, kalau rakyatnya sendiri masih terpecah dan mudah dipengaruhi, perubahan sulit terjadi. Yang lebih parah, banyak rakyat yang sudah capek dan pasrah, sementara sebagian lagi malah membela penguasa meskipun jelas ada masalah.

Di kondisi seperti ini, penguasa justru makin diuntungkan. Mereka bisa terus berkuasa karena oposisi lemah, rakyat sibuk berdebat sendiri, dan isu besar seperti korupsi jadi tenggelam oleh konflik yang diciptakan untuk mengalihkan perhatian.

Jadi, kalau mau perubahan nyata, rakyat harus lebih sadar dan kompak. Tapi pertanyaannya, bagaimana cara menyadarkan rakyat yang sudah terlanjur terbagi? (Penulis : MSar/Para legal Kantor Hukum Hide law Associate Surakarta) 







Rakyat mendukung, Presiden Prabowo, lebih blak-blakan dalam proses penegakan hukum,

Gambar: Jaksa Agung ST Burhanudin, (dilansir dari Kompas.com) 

Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan, Presiden Prabowo Subianto punya gaya berbeda dibandingkan Presiden ketujuh Joko Widodo dalam menyikapi kasus korupsi. Burhanuddin mengatakan, Prabowo merupakan sosok yang lebih blak-blakan dalam proses penegakan hukum, terutama dalam kasus korupsi. 

"Kalau Pak Prabowo kan ‘tokleh’ gitu, kalau bahasa Jawa itu apa ya, apa adanya, ‘yuk’, gitu, blak-blakan lah,” ujar Burhanuddin dalam program Gaspol! Kompas.com, Jumat (14/3/2025).

Sementara, Burhanuddin menilai Jokowi justru lebih kalem dibandingkan penerusnya saat menemui kasus korupsi.

Sebagai rakyat kecil ikut menanggapi ungkapan Jaksa Agung ST Burhanuddin tersebut begini:  Sebagai masyarakat, tanggapan terhadap pernyataan Jaksa Agung ini bisa beragam, tergantung sudut pandang masing-masing. 

Beberapa kemungkinan respons yang pas adalah:
1. Optimistis dan Mendukung, Jika memang Prabowo lebih blak-blakan dalam penegakan hukum, tentu masyarakat berharap ada gebrakan nyata dalam pemberantasan korupsi. Tidak sekadar retorika, tetapi benar-benar menindak para koruptor tanpa pandang bulu.

2. Skeptis dan Menunggu Bukti, Janji dan pernyataan tegas soal korupsi sering kali disampaikan di awal pemerintahan, tetapi realisasinya tidak selalu sesuai harapan. Masyarakat bisa bersikap menunggu dan melihat apakah benar ada perubahan signifikan dalam pemberantasan korupsi di era Prabowo.

3. Kritik Konstruktif, Blak-blakan saja tidak cukup tanpa tindakan nyata. Masyarakat bisa meminta agar Kejaksaan Agung dan pemerintah membuktikan komitmennya dengan menindak kasus-kasus besar yang selama ini masih menggantung atau seolah dilindungi.

4. Mewaspadai Potensi Politisasi, Harus tetap waspada agar penegakan hukum tidak dijadikan alat politik untuk melemahkan lawan atau melindungi kelompok tertentu. Independensi aparat hukum sangat penting agar kepercayaan masyarakat tetap terjaga.

Sebagai rakyat biasa, yang terpenting adalah terus mengawasi dan mengkritisi agar penegakan hukum benar-benar berjalan adil dan tidak hanya menjadi wacana. (Penulis: MSar/Anggota LPK Trankonmasi) 



𝘿𝙪𝙖 𝙆𝙚𝙟𝙖𝙝𝙖𝙩𝙖𝙣, 𝙎𝙖𝙢𝙖-𝙨𝙖𝙢𝙖 𝙈𝙚𝙧𝙪𝙜𝙞𝙠𝙖𝙣, 𝙈𝙖𝙣𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙇𝙚𝙗𝙞𝙝 𝘽𝙚𝙧𝙙𝙖𝙢𝙥𝙖𝙠..?

Judulnya tulisan ini sebuah Pertanyaan yang menarik untuk di bahas, karena membandingkan dua jenis kejahatan, yaitu korupsi oleh oknum pejabat dan pemalakan oleh oknum ormas terhadap pengusaha. Mari kita bahas secara sederhana agar masyarakat lebih memahami.

1. Korupsi oknum Pejabat: Sembunyi-sembunyi, Tapi Dampaknya Besar

Korupsi dilakukan secara diam-diam karena melibatkan manipulasi dokumen, penggelembungan anggaran, dan penyalahgunaan wewenang. Koruptor biasanya menyamarkan kejahatan mereka dengan administrasi yang rapi, rekening ganda, atau melalui jaringan mafia birokrasi. Karena sifatnya yang sistematis dan sulit dideteksi, korupsi merugikan negara dalam jumlah besar dan membuat harga kebutuhan pokok naik.

Contoh: Anggaran bansos yang dikorupsi membuat bantuan tidak sampai ke rakyat miskin.
Pungutan liar dalam perizinan usaha menaikkan biaya produksi, yang akhirnya dibebankan ke harga barang.

2. Premanisme Oknum Ormas: Terbuka, Tapi Langsung Mengganggu Produksi
Berbeda dengan korupsi yang sembunyi-sembunyi, pemalakan oleh oknum ormas dilakukan terang-terangan, sering kali dengan ancaman atau intimidasi. Pengusaha terpaksa membayar demi keamanan usaha mereka. Ini terjadi karena ada pembiaran atau bahkan perlindungan dari pihak tertentu.

Contoh: Pabrik minyak goreng dipalak dengan alasan "uang keamanan", jika tidak, buruhnya diganggu atau distribusinya dihambat.
Pedagang kaki lima dipaksa membayar iuran ke oknum ormas agar bisa berjualan di lokasi tertentu.

3. Mengapa Pengusaha Mau Dipalak?
Ada beberapa alasan: Takut usahanya terganggu oleh aksi premanisme.
Tidak ingin berurusan dengan hukum atau bentrokan fisik.
Tidak percaya aparat bisa melindungi mereka.

Sebagai perbandingan, pejabat yang korup tidak bisa begitu saja dipalak oleh oknum ormas karena mereka bekerja di balik meja dengan sistem yang lebih tertutup. Sementara itu, pengusaha beroperasi di lapangan, di mana ancaman fisik lebih nyata.

Pertanyaannya, Mana yang Harus Diberantas Duluan?
Keduanya sama-sama merugikan masyarakat. Namun, korupsi lebih berbahaya karena menciptakan ketimpangan sistemik dan memiskinkan rakyat secara luas. Sedangkan premanisme ormas lebih terasa secara langsung oleh pengusaha dan pekerja, tetapi biasanya hanya berdampak di lingkup industri tertentu.

Jika korupsi diberantas, ekonomi akan lebih sehat, harga barang lebih stabil, dan pemerintah punya dana cukup untuk menindak premanisme. Namun, jika premanisme dibiarkan, dunia usaha menjadi tidak kondusif dan rakyat tetap sengsara. Jadi, solusinya bukan memilih salah satu, tetapi menindak tegas keduanya.

Masyarakat harus memahami bahwa baik korupsi maupun premanisme terjadi karena lemahnya penegakan hukum dan adanya budaya takut melawan ketidakadilan. Jika dibiarkan, keduanya akan terus tumbuh subur. 
(Editor : M sar)