HALAL BI HALAL: Antara Tradisi, Budaya, dan Esensi

HALAL BI HALAL: Antara Tradisi, Budaya, dan Esensi

Bulan Syawal selalu hadir membawa nuansa hangat dan haru. Setelah sebulan penuh menahan lapar, haus, dan hawa nafsu, tibalah momen kemenangan yang disambut dengan penuh suka cita. Tak hanya lebaran sebagai hari raya, tetapi juga sebagai tradisi yang khas di negeri ini: "halal bi halal."

Saking membudayanya, halal bi halal seakan menjadi "ritual" sosial yang dinanti-nanti. Hampir di setiap sudut negeri, dari desa hingga kota, momen ini digelar dengan semarak dan beragam kemasan. Ada yang dikemas dalam bentuk temu kangen antar keluarga besar, reuni sekolah, Ormas, bahkan komunitas RT/RW. 

Dalam halal bi halal ada yang membalutnya dengan sajian campursari, dangdutan, pengajian akbar, bahkan gelaran wayang kulit, Semua itu bertajuk satu yaitu "halal bi halal."

Namun di balik segala bentuk dan kemasan yang meriah itu, mungkin kita perlu sejenak menengok ke belakang—apa sebenarnya makna halal bi halal itu sendiri?

Secara bahasa, “halal bi halal” tidak ditemukan dalam kaidah tata bahasa Arab secara baku. Namun, istilah ini tumbuh dan hidup dalam budaya Indonesia. Konon cerita sejarahnya istilah ini diperkenalkan oleh KH. Wahab Hasbullah pada masa Presiden Soekarno, sebagai jalan untuk merekatkan kembali hubungan antarelite politik yang bersitegang dan tengah renggang. Sejak saat itu, istilah ini menjadi populer sebagai ajang saling memaafkan dan mempererat silaturahmi, khususnya selepas Idulfitri.

Dalam konteks maknawi, halal bi halal bermakna saling menghalalkan, saling memaafkan, menyambung yang putus, dan merajut kembali jalinan hati. Ia bukan sekadar berjabatan tangan, bukan pula sekadar acara makan-makan atau hiburan semata. Ia adalah ruang batin untuk melepas dendam, mengikis ego, dan menumbuhkan kembali rasa cinta antar sesama.

Ironisnya, kadang dalam kemasan yang semakin variatif dan meriah, makna ini justru memudar. Ia berubah menjadi sekadar formalitas tahunan, panggung pencitraan, atau ajang sosialita yang jauh dari nilai spiritual yang dulu menjadi ruh utamanya.

Karenanya, momen halal bi halal seharusnya tidak hanya dirayakan dalam bentuk fisik semata, tapi juga diselami maknanya. Ia menjadi panggilan untuk kembali menjadi manusia seutuhnya—yang tahu bagaimana memberi maaf, dan tahu bagaimana meminta maaf.

Mari kita jaga tradisi ini tetap hidup, bukan hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai penanda keindahan akhlak bangsa. Karena halal bi halal, sejatinya adalah cermin bagaimana kita menjalin kembali yang sempat terputus, dalam keluarga, dalam masyarakat, dan bahkan dalam bangsa ini. Selamat Syawalan, mari saling memaafkan, dari hati ke hati.

Share this

Related Posts

Latest
Previous
Next Post »
Add Comments


EmoticonEmoticon