Suka Tidak Suka, Indonesia Banyak Korupsi: "Mari Kita Akhiri


Korupsi di Indonesia sudah seperti penyakit kronis yang sulit disembuhkan. Dari level atas hingga bawah, praktik suap, penggelapan, dan penyalahgunaan wewenang terus terjadi, seolah menjadi bagian dari budaya. Suka atau tidak, inilah realitas yang kita hadapi.

Namun, apakah kita hanya bisa pasrah? Tentu tidak. Perubahan harus dimulai dari kesadaran individu dan keberanian untuk bersikap jujur. Pendidikan antikorupsi perlu ditanamkan sejak dini, sistem hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, dan masyarakat harus lebih aktif mengawasi serta melaporkan praktik korupsi di sekitarnya.

Memang, memberantas korupsi bukan perkara mudah. Banyak yang diuntungkan dari sistem yang korup, dan mereka tentu tidak akan tinggal diam. Tetapi jika rakyat bersatu, pemerintah berkomitmen, dan hukum benar-benar tegak, masih ada harapan untuk perubahan.

Jangan lagi kita hanya mengeluh dan mengutuk. Saatnya bertindak, sekecil apa pun langkah kita. Jika bukan sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi?

Korupsi di Indonesia sering kali seperti siklus api yang membara sejenak, lalu padam sebelum benar-benar membakar akar masalahnya.

Ketika ada kasus korupsi besar terungkap, perhatian publik langsung tersedot. Media ramai memberitakan, rakyat marah, dan tuntutan keadilan menggema di mana-mana. Namun, seperti pola yang sudah sering terjadi, tak lama kemudian muncul isu lain—entah itu skandal baru, kontroversi politik, atau sensasi selebriti—yang akhirnya mengalihkan fokus masyarakat.

Sementara itu, para pelaku korupsi justru mendapatkan "pemadam" LEntah lewat hukuman ringan, potongan masa tahanan, atau bahkan bebas dengan dalih kesehatan. Masyarakat yang tadinya marah pun perlahan lupa, hingga akhirnya kasus besar yang dulu menghebohkan lenyap begitu saja.

Inilah salah satu alasan mengapa korupsi terus berulang. Hukuman yang tidak menimbulkan efek jera, pengawasan yang lemah, serta masyarakat yang mudah dialihkan perhatiannya membuat para koruptor merasa aman untuk terus bermain dalam lingkaran korupsi.

Jika kita ingin benar-benar mengakhiri korupsi, maka kita harus berhenti menjadi bangsa yang mudah lupa. Kita harus tetap mengawal kasus-kasus yang ada, mendesak keadilan ditegakkan, dan menolak untuk teralihkan oleh isu-isu yang sengaja diciptakan untuk mengaburkan perhatian publik.

Api kemarahan terhadap korupsi seharusnya tidak hanya menyala sesaat, tapi terus berkobar hingga membakar habis sistem yang mendukungnya. Jangan biarkan pemadam itu bekerja lagi!

Di satu sisi, ada mereka yang masih percaya pada keadilan, memuja hukum, dan berharap pada pemimpin. Mereka ingin perubahan, tetapi sering kali terjebak dalam ilusi bahwa sistem yang ada akan menyelesaikan masalah. Namun, kenyataannya, korupsi terus merajalela, dan kepercayaan mereka justru dimanfaatkan oleh para penguasa yang bermain dalam lingkaran korupsi.

Di sisi lain, ada oposisi—mereka yang sadar dan menolak sistem korup. Namun, mereka tidak memiliki cukup kekuatan untuk benar-benar melawan. Suara mereka sering kali dibungkam, upaya mereka dilemahkan, dan akhirnya, mereka pun pasrah karena merasa tak berdaya.

Inilah dilema yang membuat korupsi sulit diakhiri. Rakyat berada di antara harapan dan ketidakberdayaan. Sementara itu, para pelaku korupsi terus bermain di antara dua sisi ini, memanfaatkan kepercayaan sebagian rakyat dan menekan yang berani melawan.

Jika kita ingin keluar dari lingkaran ini, rakyat harus bersatu. Kesadaran saja tidak cukup—perlu tindakan nyata, keberanian, dan keteguhan dalam mengawal keadilan. Selama masih ada yang menganggap korupsi sebagai sesuatu yang "biasa" atau bahkan membela pelaku dengan berbagai alasan, maka perubahan akan semakin sulit.

Bukan hal yang mudah, tapi bukan berarti mustahil. Jika kita tidak bisa melawan secara langsung, setidaknya kita bisa mulai dari hal kecil: menolak suap, berani berbicara, mendukung transparansi, dan tidak mudah terbuai dengan janji-janji manis.

Perubahan tidak akan datang dari atas, tapi dari kesadaran dan keberanian rakyat itu sendiri.
Penulis : Muhamad Sarman







Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Add Comments


EmoticonEmoticon