Opini : "Koperasi Desa: Solusi Ekonomi atau Ladang Baru Korupsi?"
Oleh : Muhamad Sarman (Kordinator LPK Trankonmasi Jawa Tengah)
Pembentukan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih yang diawasi langsung oleh Mendagri Tito Karnavian dan Menkop Budi Arie Setiadi, serta melibatkan aparat penegak hukum, menunjukkan bahwa pemerintah ingin memastikan koperasi ini berjalan dengan transparan dan tidak disalahgunakan.
Namun, di lapangan, efektivitas pengawasan ini masih menjadi tanda tanya. Banyak program pemerintah sebelumnya yang memiliki niat baik tetapi tetap rawan diselewengkan, terutama jika tidak ada kontrol ketat dari masyarakat.
Jika koperasi ini dikelola dengan baik, tentu bisa membantu perekonomian desa. Tapi jika malah jadi ajang bancakan elite atau kelompok tertentu, rakyat kecil yang seharusnya mendapat manfaat justru bisa dirugikan.
Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dengan Kopdes Merah Putih ini.
1. Jika dikelola dengan baik, koperasi bisa menjadi alat untuk mengangkat ekonomi desa. Masyarakat desa bisa mendapatkan akses modal yang lebih mudah, meningkatkan produksi pertanian atau usaha kecil, dan menciptakan lapangan kerja. Jika koperasi benar-benar berpihak kepada rakyat, ini bisa menjadi solusi nyata bagi ketimpangan ekonomi antara desa dan kota.
2. Jika disalahgunakan, koperasi ini justru bisa menjadi ajang korupsi dan kepentingan segelintir pihak. Pengelolaan yang tidak transparan, dana yang dikorupsi, atau hanya menguntungkan kelompok tertentu bisa membuat rakyat kecil justru semakin terpinggirkan. Apalagi jika pengawasan hanya formalitas dan aparat penegak hukum hanya sekadar simbol tanpa tindakan nyata.
Banyak program di masa lalu yang niatnya bagus, tapi akhirnya menjadi proyek yang menguntungkan elite saja. Apakah pemerintah kali ini bisa memastikan koperasi ini benar-benar berjalan untuk rakyat, atau malah jadi masalah baru di desa? Itu yang harus kita kawal bersama.
Pernyataan Tito tentang mekanisme pengawasan Kopdes Merah Putih melalui Badan Musyawarah Desa (BPD) terdengar ideal di atas kertas. BPD memang berfungsi seperti DPRD versi desa, yang punya kewenangan mengawasi kebijakan kepala desa dan bisa mengusulkan pemakzulan jika ada pelanggaran.
Namun, dalam praktiknya, apakah BPD benar-benar independen dan berani menindak kepala desa yang menyimpang?
Banyak kasus di desa menunjukkan bahwa BPD sering kali kurang berdaya karena beberapa alasan:
1. BPD dan kepala desa sering "main mata", apalagi jika ada kepentingan politik atau ekonomi bersama.
2. Masyarakat desa cenderung segan melawan kepala desa, terutama di daerah di mana kepala desa memiliki pengaruh kuat.
3. Proses pemakzulan kepala desa sulit dan memerlukan banyak dukungan, yang bisa saja dihambat oleh birokrasi atau tekanan politik.
Kalau memang pengawasan ini ingin efektif, harus ada jaminan bahwa BPD bisa bekerja tanpa tekanan dan masyarakat desa benar-benar diberi ruang untuk mengawasi koperasi ini secara transparan. Kalau tidak, pengawasan hanya akan jadi formalitas belaka.