Suwarakita, (Senin,25/3/2025) - Di tengah maraknya kasus korupsi dan ketidakadilan di negeri ini, rakyat sering kali merasa serba salah. Ketika melawan, ada risiko dikriminalisasi. Ketika diam, justru menjadi korban permainan politik. Situasi ini membuat banyak orang memilih jalan tengah: mengeluh tanpa tindakan nyata. Padahal, di era digital ini, suara rakyat bisa menjadi kekuatan besar untuk perubahan.
Namun, ada satu hal yang harus disadari: berbicara itu hak, tetapi harus dilakukan dengan cerdas. Salah berbicara bisa menjadi bumerang. Fakta menunjukkan bahwa banyak orang yang akhirnya terseret masalah hukum karena tidak memahami batasan dalam menyampaikan pendapat. Maka dari itu, penting bagi rakyat untuk tetap kritis, tetapi dengan strategi yang tepat.
Berbicara dengan Data, Bukan Hanya Emosi
Banyak orang yang marah terhadap ketidakadilan, lalu mengungkapkan kekesalannya di media sosial dengan kata-kata kasar atau tuduhan tanpa bukti. Ini justru menjadi celah bagi pihak berwenang untuk menjerat mereka dengan berbagai undang-undang, seperti UU ITE. Oleh karena itu, jika ingin menyuarakan ketidakadilan, gunakan data dan fakta yang valid. Jangan asal menuduh tanpa dasar, karena itu bisa menjadi senjata makan tuan.
Pilih Media yang Tepat
Di era digital, media sosial memang menjadi sarana utama untuk menyampaikan pendapat. Namun, ada cara lain yang lebih efektif, seperti menulis opini di media massa, membuat petisi online, atau berdiskusi dalam forum yang lebih luas. Dengan demikian, suara yang disampaikan tidak hanya sekadar emosi sesaat, tetapi benar-benar memiliki dampak.
Bersikap Kritis Tanpa Menyerang Pribadi
Kritik yang sehat adalah kritik terhadap kebijakan, bukan serangan terhadap individu. Menyebut pejabat sebagai "koruptor" tanpa bukti bisa berujung pada tuntutan hukum. Namun, mengkritik kebijakan yang merugikan rakyat dengan data dan argumen yang kuat adalah hak yang tidak bisa dibungkam.
Gunakan Hukum sebagai Perisai
Banyak orang takut berbicara karena khawatir terkena pasal hukum. Padahal, jika memahami aturan yang ada, justru bisa menggunakan hukum sebagai pelindung. Misalnya, jika ada kasus korupsi, rakyat bisa melaporkannya ke lembaga yang berwenang seperti KPK atau Ombudsman, bukan sekadar berteriak di media sosial tanpa tindakan konkret.
Kesimpulan
Bersuara itu penting, tetapi lebih penting lagi memahami bagaimana cara berbicara yang aman dan efektif. Jangan takut menyuarakan ketidakadilan, tetapi jangan pula asal berbicara tanpa memahami batasnya. Dengan strategi yang tepat, suara rakyat bisa menjadi kekuatan yang tidak bisa diabaikan.
Jika kita ingin perubahan, maka kita harus menjadi bagian dari solusi. Bukan sekadar menjadi korban keadaan, tetapi menjadi rakyat yang cerdas dalam menyuarakan kebenaran. Salam Nalar, Akal Waras. Penulis : Muhamad Sarman.