Boyolali, Suwarakita - Dalam budaya Jawa, malam ke-21 bulan Ramadan dikenal sebagai "Malam Selikuran". Malam ini memiliki makna istimewa karena menandai dimulainya malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan, di mana umat Islam dianjurkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, terutama dalam mencari Lailatul Qadar—malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Malam Selikuran berasal dari kata selikur yang berarti angka 21 dalam bahasa Jawa. Pada malam ini, masyarakat Jawa menggelar berbagai tradisi yang sarat makna spiritual dan sosial, seperti kenduri atau shodamohan, yang merupakan wujud syukur dan doa bersama agar mendapatkan keberkahan Ramadan.
Tradisi Malam Selikuran juga masih dilestarikan oleh sebagian warga di berbagai daerah, termasuk di Dukuh Kembang, RT 08/02, Desa Nepen, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali. menggelar kenduri atau shodamohan pada malam ke-21 Ramadan.
Acara ini diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh sesepuh kampung atau tokoh agama setempat. Setelah doa, makanan khas seperti tumpeng, tradisional sebagai bentuk sedekah dan rasa syukur.
Tradisi Malam Selikuran di Masyarakat Jawa, Tradisi utama dalam Malam Selikuran adalah kenduri atau shodamohan. Kenduri ini biasanya diadakan di masjid, langgar, atau rumah tokoh masyarakat. Hidangan khas seperti tumpeng, dan ada yang menyajikan kolak, ketan, apem, dan makanan tradisional lainnya disiapkan untuk dibagikan kepada warga.
Di beberapa daerah, seperti di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, terdapat kirab Malam Selikuran. Dalam kirab ini, masyarakat membawa obor dan berjalan mengiringi sesaji yang nantinya akan didoakan bersama. Tradisi ini melambangkan harapan agar kehidupan menjadi lebih terang benderang, sebagaimana cahaya Lailatul Qadar.
Selain kenduri, masyarakat juga melakukan tadarus Al-Qur'an, dzikir, dan shalawat secara bersama-sama. Kegiatan ini dilakukan dengan harapan agar bisa mendapatkan berkah dan kemuliaan dari malam-malam terakhir Ramadan.
Filosofi Malam Selikuran, Malam Selikuran mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, sedekah, dan kepedulian sosial. Masyarakat tidak hanya mendekatkan diri kepada Allah tetapi juga berbagi kebahagiaan dengan sesama, terutama dengan mereka yang kurang mampu.
Malam Selikuran bukan sekadar perayaan, tetapi juga bagian dari kekayaan budaya Jawa yang memperkuat nilai-nilai keislaman. Tradisi ini terus lestari sebagai wujud penghormatan terhadap Ramadan dan sebagai sarana mempererat tali silaturahmi antarwarga.
Di tengah perkembangan zaman, yang semakin tidak menentu, Malam Selikuran tetap menjadi momentum penting bagi masyarakat Jawa dalam menyambut Lailatul Qadar dengan penuh harapan dan doa.
Penulis : Muhamad Sarman/Anggota LPK Trankonmasi