Gambar : Muhamad Sarman bersama Sugiyarno, SH di ruang tunggu BPN Wonogiri
Beberapa waktu lalu, Emha Ainun Nadjib, atau yang akrab disapa Cak Nun, melontarkan pernyataan yang cukup menarik:
"Kamu pernah menderita apa? kamu pernah miskin apa? Kamu pernah puasa kayak apa? kamu pernah tirakat apa? Kamu lancar-lancar semua kok".
Sepintas, ungkapan ini terdengar santai dan mengundang senyum. Namun, jika direnungkan lebih dalam, ada makna filosofis yang bisa kita gali dari ucapan tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang membawa beban masing-masing. Ada yang tengah berjuang mengatasi masalah ekonomi, ada yang dirundung kesedihan karena kehilangan orang tercinta, ada pula yang merasa baik-baik saja di luar, tetapi sebenarnya bergejolak di dalam. Ucapan Cak Nun ini seperti menyoroti bagaimana kita kerap kali abai terhadap kondisi orang lain.
Di era digital sekarang, orang lebih sering menampilkan citra bahagia di media sosial, padahal realitanya bisa jauh berbeda. Di balik senyum manis yang diposting di Instagram, bisa saja ada air mata yang jatuh di balik layar.
Kembali pada Ucapan Cak Nun, "Kamu pernah menderita apa? kamu pernah miskin apa? Kamu pernah puasa kayak apa? kamu pernah tirakat apa? Kamu lancar-lancar semua kok". Ini bisa jadi sindiran halus dari Cak Nun bahwa dalam kehidupan sosial, sering kali kita sibuk dengan urusan sendiri tanpa benar-benar peduli pada orang lain.
Cak Nun juga menyinggung soal penderitaan. Tidak semua penderitaan terlihat jelas. Kadang seseorang tampak biasa saja, tetapi hatinya mungkin sedang bergulat dengan masalah besar. Sayangnya, dalam masyarakat, ada kecenderungan untuk menghakimi daripada memahami.
Kita sering mendengar orang berkata, "Kamu kan sehat, kerja juga ada, kenapa masih mengeluh?" Padahal, penderitaan tidak hanya tentang fisik atau materi, tetapi juga mental dan batin.
Ucapan Cak Nun ini bisa menjadi pengingat bagi kita untuk lebih peka terhadap orang lain. Jangan buru-buru menilai seseorang hanya dari apa yang terlihat. Bisa jadi teman yang diam sedang butuh tempat curhat, atau orang yang selalu ceria justru menyembunyikan luka hatinya.
Maka, mari kita lebih sering bertanya dengan tulus, "Apa kabarmu? Kamu baik-baik saja?" dan benar-benar mendengarkan jawabannya, bukan sekadar basa-basi. Karena terkadang, perhatian kecil bisa menjadi penyelamat bagi seseorang yang sedang berada di titik terendah hidupnya.
Ungkapan "Kamu miskin apa?" bisa ditafsirkan dari berbagai sudut pandang, tergantung konteksnya. Bisa jadi ini adalah sindiran sosial terhadap cara pandang masyarakat yang kerap mengkotak-kotakkan orang berdasarkan status ekonomi. Seolah-olah kalau seseorang mengeluh atau meminta bantuan, harus ada verifikasi dulu: "Miskin beneran atau pura-pura?"
Bisa juga ini mempertanyakan: apakah seseorang benar-benar miskin secara materi, atau justru miskin secara mental? Ada orang yang mungkin secara ekonomi cukup, tetapi selalu merasa kekurangan. Sebaliknya, ada yang sederhana tetapi merasa cukup dan bahagia.
Kadang, tanpa sadar, kita sendiri yang membatasi diri dengan merasa "miskin" dalam berbagai aspek—miskin ide, miskin semangat, miskin empati. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar miskin, atau hanya belum menyadari potensi yang kita miliki? Mari Refleksi Diri.
Penulis : Muhamad Sarman