Ketika Pemerasan Menjadi Alat Teror Berkedok Profesi

Gambar: llustrasi

Pemerasan adalah kejahatan, bukan bentuk kontrol sosial. Ironisnya, di tengah maraknya pemberitaan tentang kepala desa yang mengeluhkan pemerasan oleh oknum LSM atau wartawan, muncul pertanyaan besar: mengapa mereka mau diperas? Jika memang tak ada kesalahan, kenapa takut? Kenapa harus memberikan uang?

Fenomena ini mencerminkan dua sisi persoalan. Pertama, adanya oknum-oknum yang menyalahgunakan label profesi terhormat seperti LSM atau jurnalis sebagai tameng untuk menakut-nakuti. Mereka memanfaatkan celah hukum dan keraguan korban untuk melancarkan aksinya. Kedua, bisa jadi, ada kepala desa yang sebenarnya menyimpan "dosa administrasi", dan takut jika hal tersebut dibongkar ke publik, sekalipun kesalahannya sepele.

Namun, ada juga kepala desa yang benar-benar bersih tapi tetap takut karena trauma menghadapi tekanan publik atau media. Alih-alih melapor atau melawan, mereka memilih “damai” dengan cara menyuap si pemeras. Inilah awal dari lingkaran setan yang merusak citra kedua pihak: lembaga desa dan profesi LSM/wartawan itu sendiri.

Akibatnya, bukan hanya individu yang rusak namanya, tapi seluruh organisasi yang dinaungi oknum tersebut ikut tercoreng. Kepercayaan publik pun terkikis. Maka, sudah saatnya negara, masyarakat, dan media yang sehat bersatu untuk melawan praktik pemerasan berkedok profesi. Lapor! Jangan takut jika merasa benar. Dan bagi para pemeras, sadarilah: kebebasan bukan untuk disalahgunakan, karena pada akhirnya, kebenaran akan menang, dan topeng akan jatuh.( Muhamad Sarman

Antara KUD dan Harapan Baru Koperasi Merah Putih

Antara KUD dan Harapan Baru Koperasi Merah Putih

Suwarakita.com (9/4/2025) Koperasi Unit Desa (KUD) memiliki sejarah panjang dalam mendukung roda perekonomian desa Indonesia. Bermula dari Koperta (Koperasi Pertanian) yang dibentuk pada tahun 1963, lalu bertransformasi menjadi Badan Usaha Unit Desa (BUUD) pada 1966-1967, dan akhirnya dikenal sebagai KUD. Lembaga ini sempat menjadi tulang punggung ekonomi desa, menyediakan kredit, sarana produksi pertanian, hingga membantu pemasaran hasil panen petani.

Namun, dalam perjalanan panjang KUD ada dugaan tidak selalu mulus. Banyak dugaan penyimpangan dan praktik korupsi yang menyelimuti tubuh KUD dari waktu ke waktu. Ibarat pepatah "air susu dibalas air tuba," lembaga yang seharusnya menyejahterakan rakyat kecil justru kerap menjadi ladang bancakan oknum yang tak bertanggung jawab. Berbagai kasus penyalahgunaan dana, manipulasi laporan keuangan, hingga praktik nepotisme membuat kepercayaan publik terhadap KUD terus menurun.

Kini, pemerintah mencoba memperbaiki citra dan fungsi koperasi melalui peluncuran Koperasi Merah Putih —sebuah inisiatif baru yang digagas dan digadang-gadang lebih profesional, transparan, dan terintegrasi dengan sistem digitalisasi modern. Kehadirannya membawa harapan baru di tengah keraguan lama.

Pertanyaannya: apakah Koperasi Merah Putih mampu belajar dari sejarah panjang KUD? Ataukah hanya akan menjadi wajah baru dari sistem lama yang dibungkus janji-janji manis?

Masyarakat tentu sangat berharap besar. Namun, harapan saja tidaklah cukup. Diperlukan pengawasan ketat, transparansi dalam manajemen, dan keterlibatan aktif masyarakat desa agar koperasi ini benar-benar berpihak kepada rakyat kecil, bukan sekadar menjadi alat politik atau proyek pencitraan.

Karena pada akhirnya, koperasi yang sehat adalah cerminan dari komitmen bersama untuk keadilan ekonomi. Dan semangat gotong royong yang sekarang ini memudar, semga baik sa tumbuh lagi menjadi akar koperasi sejatinya yang harus tetap hidup—bukan hanya dalam gembar gembornya slogan, tetapi dalam praktek tindakan yang nyata. Salam akal waras, semoga Koprasi Merah Putih berhasil merubah ekonomi rakyat pedesaan. (MSar

Saatnya Memberi Sorotan Layak untuk Petani, Buruh, dan Nelayan

Gambar: Ilustrsi Petani

Suwarakita.com, (9/4/2025) - Setiap kali kita membuka gawai dan berselancar di media sosial, yang muncul mayoritas adalah kabar tentang orang-orang hebat: tokoh sukses, selebritas, pengusaha muda, atau pejabat publik. Jarang sekali kita disuguhi informasi tentang petani, buruh, dan nelayan—tiga pilar penting dalam kehidupan bangsa. Seolah-olah peran mereka tidak cukup layak untuk diberitakan, apalagi diapresiasi.

Padahal, tanpa petani, kita tidak bisa makan nasi. Tanpa buruh, roda industri tak akan berputar. Tanpa nelayan, kita kehilangan sumber protein laut yang penting. Mereka adalah tulang punggung ekonomi kerakyatan. Namun dalam hiruk-pikuk informasi hari ini, suara mereka tenggelam.

Minimnya sorotan media terhadap petani, buruh, dan nelayan bukan berarti mereka tidak memiliki kisah inspiratif. Justru sebaliknya, banyak di antara mereka yang bekerja keras dengan segala keterbatasan demi menghidupi keluarga dan memberi kontribusi nyata bagi bangsa. Sayangnya, perjuangan itu jarang diangkat menjadi narasi publik yang membanggakan.

Mereka menghadapi berbagai tantangan berat: keterbatasan modal, akses pasar yang terbatas, perubahan iklim, dan fluktuasi harga yang seringkali tak menentu. Belum lagi kebijakan yang tidak berpihak, serta sistem distribusi yang merugikan posisi mereka sebagai produsen utama.

Maka, sudah waktunya media dan masyarakat mengubah cara pandang. Mari beri ruang lebih besar bagi berita tentang mereka. Sorotan positif bisa memberi dampak besar, tidak hanya membangkitkan semangat, tetapi juga mendorong kebijakan yang lebih adil.

Media sosial, blog, dan media online memiliki peran strategis dalam mengangkat suara mereka. Kisah petani yang berhasil mengembangkan pertanian organik, buruh yang gigih memperjuangkan haknya, atau nelayan yang berinovasi dengan teknologi ramah lingkungan—semua layak untuk diangkat dan dibanggakan.

Karena sejatinya, yang hebat bukan hanya mereka yang tampil di layar kaca atau headline berita. Petani, buruh, dan nelayan adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang setiap harinya memastikan kita tetap bisa makan, bekerja, dan hidup. (MSar) 

Mari Jadikan Momen Idul Fitri 1446 H ini Sebagai Awal Untuk Memulai Melawan Ketakutan.

Gambar: Keluarga besar Muhamad Sarman, dalam Momen Idul Fitri 1446 H

Suwarakita.com (1/4/2025) - Ketakutan adalah bagian alami dari kehidupan, tetapi jika tidak dihadapi, ketakutan bisa menjadi penghalang bagi pertumbuhan dan kesuksesan. 

Gambar: Muhamad Sarman & Diyatini, Mengucapkan Selamat Idul Fitri 1446 H, Mohon Maaf Lahir&batin

Ada beberapa tips langkah konkret untuk melawan ketakutan dan membangun keberanian:
1. Kenali dan Akui Ketakutan, Sadari apa yang membuat kita takut. Tuliskan ketakutan tersebut secara spesifik agar lebih mudah dianalisis.

2. Pahami Akar Ketakutan, Apakah ketakutan itu muncul karena pengalaman buruk di masa lalu, kurangnya kepercayaan diri, atau sekadar ketakutan akan hal yang belum diketahui?

3. Ambil Langkah Kecil, Jangan langsung menghadapi ketakutan dalam skala besar. Mulailah dengan langkah-langkah kecil. Misalnya, jika takut berbicara di depan umum, coba latihan berbicara di depan cermin atau dengan teman terlebih dahulu.

4. Ganti Pikiran Negatif dengan Pikiran Positif, Ubah pola pikir dari “Saya tidak bisa” menjadi “Saya akan mencoba dan belajar.” Fokus pada kemungkinan sukses, bukan kegagalan.

5. Hadapi dan Lakukan, Semakin sering kita menghindari ketakutan, semakin besar ia tumbuh. Sebaliknya, semakin sering kita menghadapinya, semakin kecil ketakutan itu terasa.

6. Belajar dari Kesalahan, Jangan takut gagal. Anggap kegagalan sebagai pengalaman belajar yang membantu kita menjadi lebih baik.

7. Kelilingi Diri dengan Dukungan Positif, Bergaul dengan orang-orang yang mendukung dan memberi semangat akan membantu kita merasa lebih berani.

8. Visualisasikan Kesuksesan, Bayangkan diri kita berhasil mengatasi ketakutan itu. Teknik ini bisa meningkatkan rasa percaya diri.

9. Gunakan Teknik Relaksasi, Latihan pernapasan, meditasi, atau olahraga ringan dapat membantu mengurangi kecemasan saat menghadapi ketakutan.

10. Terus Berlatih dan Bersabar, Keberanian tidak datang dalam semalam. Dibutuhkan latihan dan konsistensi agar semakin kuat dalam menghadapi ketakutan.

Dengan momen  Idul Fitri 1446 H ini mari kita menerapkan langkah-langkah uraian penjelasan diatas poin 1 sampai dengan poin 10, karena di momen ini bukan tidak mungkin kita bakal bertemu dengan orang orang baru yang sebelumnya tidak kita kenal.

Dan kita juga bertemu dengan kawan lama yang pulang mudik dengan serta merta ia akan bercerita tentang kesuksesan mereka, Nah, disaat itulah mari kita uji diri kita untuk menghadapi rasa takut dan minder, dalam menanggapi ceritanya. 

Insya Allah kita bisa mulai membangun keberanian secara bertahap dan melangkah menuju kehidupan yang lebih bebas dari rasa takut, terutama takut  berpendapat, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H Semoga kita semua mendapatkan berkahNya. 
(Penulis: MSar) 



Opini: Jangan Hanya Menyoroti Ormas, Siapa Saja yang Minta THR ke Perusahaan?




Belakangan ini, muncul berbagai pemberitaan yang menyoroti organisasi masyarakat (ormas) dan LSM yang diduga meminta Tunjangan Hari Raya (THR) kepada perusahaan. Narasi yang berkembang seolah-olah hanya oknum dari kelompok ini yang melakukan praktik tersebut. Namun, jika kita berpikir lebih luas dan realistis, benarkah hanya ormas yang melakukan hal ini?

Dalam praktiknya, permintaan THR tidak selalu datang dari ormas atau LSM saja. Lembaga atau instansi yang memiliki hubungan erat dengan perusahaan juga bisa terlibat dalam praktik serupa. Misalnya, ada dugaan bahwa oknum di instansi tertentu yang sering berurusan dengan perusahaan—baik dari sektor perizinan, pengawasan, atau pelayanan publik—juga ikut ‘memanfaatkan momen’ menjelang hari raya.

Jika kita ingin memberantas praktik ini secara adil, maka tidak bisa hanya menyudutkan satu kelompok saja. Pemerintah, masyarakat, dan media perlu mengedepankan transparansi dan menyoroti semua pihak yang terlibat dalam kebiasaan ini. Jika memang ada pelanggaran hukum atau etika, siapapun yang terlibat harus mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Persoalannya, apakah ada keberanian dari pihak perusahaan untuk menolak permintaan THR yang datang dari oknum instansi yang keberadaannya sangat vital bagi perusahaan? Ini menjadi dilema besar, karena sering kali perusahaan terjebak dalam situasi di mana menolak bisa berisiko mengganggu kelancaran operasional mereka. Inilah yang menyebabkan praktik ini terus berlangsung, karena ada ketimpangan kekuasaan yang sulit dihindari.

Yang lebih penting, perusahaan juga harus berani menolak permintaan yang tidak sesuai prosedur dan melaporkannya jika ada unsur pemaksaan. Standar Operasional Prosedur (SOP) di setiap perusahaan sudah mengatur mekanisme pemberian THR kepada karyawan, bukan kepada pihak-pihak eksternal yang tidak berhak.

Momen hari raya seharusnya menjadi ajang untuk meningkatkan solidaritas sosial, bukan kesempatan untuk membebani perusahaan dengan kewajiban di luar ketentuan yang ada. Oleh karena itu, mari bersama-sama membangun budaya yang lebih sehat dan transparan dalam hubungan antara perusahaan, lembaga, dan masyarakat. Penulis : Muhamad Sarman



Boyolali Hadir dengan Wajah Baru: Lebih Indah, Rapi, dan Ramai

Boyolali Ctg light

Boyolali, Suwarakita ( 28/3/2025) – Kabupaten Boyolali kini tampil dengan wajah baru. Melalui program Boyolali City Light, pemerintah daerah berupaya menghadirkan suasana kota yang lebih hidup, rapi, dan estetis. Program ini tidak hanya memperindah kota, tetapi juga memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi, terutama bagi pelaku UMKM.

Bupati Boyolali menegaskan bahwa tujuan utama dari Boyolali City Light adalah membuat Boyolali semakin ramai dan menarik, khususnya bagi para pemudik yang kembali ke kampung halaman saat Hari Raya Idul Fitri. Dengan perubahan ini, diharapkan para perantau yang pulang dapat melihat betapa Boyolali telah berkembang pesat.

"Salah satunya kita juga pingin wajah beda nanti untuk pemudik yang masuk Boyolali. Mereka sekarang bisa lebih mengenang, ‘ooo ternyata Boyolali sekarang sudah beda, sudah indah juga sudah rapi ditata untuk UMKM-nya’," ujar Bupati.

Selain menjadi daya tarik bagi pemudik, Boyolali City Light juga diharapkan menjadi langkah awal bagi berbagai kegiatan lain yang dapat menggerakkan perekonomian daerah. Pemerintah daerah ingin memastikan bahwa perubahan ini tidak sekadar menghadirkan keindahan visual, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

"Kita pingin bikin sesuatu yang baru dulu. Penginnya nanti pertumbuhan ekonominya tentunya meningkat di Kabupaten Boyolali," pungkasnya.

Dengan hadirnya Boyolali City Light, masyarakat kini dapat menikmati suasana kota yang lebih modern tanpa kehilangan identitasnya. Boyolali bukan hanya berbeda, tetapi juga lebih maju, lebih nyaman, dan semakin membanggakan. 

HENTIKAN PREMANISME USAHA, TAPI JANGAN LUPA KOREKSI DIRI

Gambar : Amplop 

Suwarakita, [27/3/2025] – Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer (Noel), dengan tegas mengecam aksi premanisme yang dilakukan oleh sejumlah organisasi masyarakat (ormas) dalam memalak para pengusaha. Menurutnya, tindakan semacam ini tidak hanya merugikan dunia usaha, tetapi juga menghambat iklim investasi di Indonesia.

Namun, dalam menyikapi persoalan ini, penting bagi semua pihak untuk melihat secara lebih objektif dan berimbang. Sejarah mencatat bahwa dalam berbagai kesempatan, banyak pengusaha juga memanfaatkan ormas untuk "pengondisian" lokasi sebelum memulai usahanya. Tidak jarang, hubungan ini didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak, sehingga praktik ini menjadi sesuatu yang berlangsung secara mutual.

Maka dari itu, dalam penanganan kasus seperti ini, penting untuk tidak menggeneralisasi seluruh ormas sebagai pelaku pemalakan. Ada banyak ormas yang berperan positif dalam mendukung masyarakat dan pembangunan. Penggunaan istilah "oknum" harus lebih dikedepankan, sebagaimana kita juga menggunakan istilah tersebut dalam kasus pejabat yang korup atau pengusaha yang bermain curang.

Lebih dari sekadar menyoroti tindakan ormas tertentu, ada permasalahan yang lebih mendesak, yaitu pemberantasan korupsi yang sudah mengakar di berbagai lini. Jika korupsi bisa diberantas, maka iklim usaha yang sehat dapat terwujud, dan tidak akan ada lagi praktik-praktik yang merugikan baik bagi pengusaha maupun masyarakat.

Pemerintah diharapkan tidak hanya menindak "oknum" ormas yang melakukan pemerasan, tetapi juga memastikan regulasi usaha yang adil dan bebas dari korupsi. Dengan demikian, tidak hanya dunia usaha yang mendapatkan perlindungan, tetapi juga masyarakat luas yang ingin mencari nafkah dengan cara yang benar. 
Penulis : Muhamad Sarman. 


STUDY TOUR: ANTARA MANFAAT DAN BEBAN FINANSIAL BAGI ORANG TUA


Gambar : Mobil Bus Mainan anak

Boyolali, Suarakyat.com ( 27/3/2025) - Baru-baru ini, Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifuddin, menyatakan dukungannya terhadap kebijakan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti yang tidak melarang sekolah mengadakan study tour. Menurutnya, kegiatan ini memiliki manfaat dalam menambah pengalaman dan wawasan siswa. Namun, di sisi lain, study tour juga menjadi polemik di kalangan wali murid, terutama bagi mereka yang kondisi ekonominya kurang mapan.

Setiap kali study tour diadakan, banyak orang tua yang mengeluhkan beban finansial yang semakin berat. Kegiatan ini biasanya diselenggarakan menjelang akhir masa pendidikan, saat orang tua juga harus mempersiapkan biaya lain, seperti keperluan kelulusan atau pendaftaran ke jenjang pendidikan berikutnya. Bagi keluarga yang memiliki lebih dari satu anak di sekolah yang berbeda, beban tersebut semakin berlipat ganda.

Selain itu, tak sedikit yang menilai bahwa study tour lebih bersifat rekreasi daripada edukasi. Jika tujuannya untuk menambah wawasan, sekolah seharusnya bisa mencari alternatif yang lebih terjangkau dan tidak memberatkan orang tua. Tidak bisa dimungkiri, ada pula anggapan bahwa kegiatan ini menjadi "lahan" bagi pihak tertentu untuk mencari keuntungan.

Oleh karena itu, perlu ada kebijakan yang lebih berpihak kepada semua kalangan. Jika study tour tetap diadakan, sekolah harus memastikan bahwa tidak ada unsur pemaksaan terhadap siswa yang tidak mampu. Bahkan, akan lebih baik jika kegiatan ini ditiadakan dan digantikan dengan program lain yang lebih merata manfaatnya serta tidak membebani wali murid.

Pendidikan seharusnya inklusif dan tidak boleh menjadi ajang yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu secara finansial. Jangan sampai kegiatan seperti study tour justru menciptakan kesenjangan sosial di lingkungan sekolah.
Penulis : Muhamad Sarman

Pembagian Takjil di Jl. Candi Ampel, Wujud Kepedulian Masyarakat Sambut Bulan Puasa

Pembagian Takjil di Jl. Candi Ampel, Wujud Kepedulian Masyarakat Sambut Bulan Puasa

Candi,suwarakita (26 Maret 2025) – Dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan, gabungan tokoh masyarakat Desa Candi menggelar aksi sosial berupa pembagian takjil kepada pengguna jalan. Kegiatan ini berlangsung secara spontan pada Rabu (26/3) pukul 16.30 WIB di Jl. Candi Ampel.

Acara ini melibatkan berbagai elemen masyarakat, antara lain Linmas Desa Candi, tokoh agama (Toga), tokoh masyarakat (Tomas), serta mahasiswa dari Samara Tungga Kaligentong Gladagsari. Dengan mengusung tema "Bersama Rakyat, TNI Kuat", sekitar 50 orang turut serta dalam kegiatan yang bertujuan untuk berbagi kebahagiaan kepada sesama.

Selain membagikan takjil kepada para pengguna jalan, kegiatan ini juga menjadi ajang silaturahmi dan bentuk kepedulian sosial terhadap masyarakat yang sedang menjalankan ibadah puasa. Para peserta berharap kegiatan semacam ini dapat terus dilakukan di tahun-tahun mendatang untuk mempererat kebersamaan dan semangat gotong royong di tengah masyarakat.

Salah satu tokoh masyarakat yang hadir menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan wujud nyata kepedulian terhadap sesama, khususnya bagi mereka yang masih berada di perjalanan saat waktu berbuka puasa tiba.

"Kami berharap kegiatan seperti ini dapat terus dilakukan dan menjadi inspirasi bagi masyarakat lain untuk saling berbagi dan peduli," ujarnya.

Dengan semangat kebersamaan, acara pembagian takjil ini berlangsung dengan lancar dan penuh kehangatan. Masyarakat yang menerima takjil pun tampak antusias dan berterima kasih atas kepedulian yang diberikan.
Editor : Muhamad Sarman

Timnas Indonesia Taklukkan Bahrain 1-0, Ole Romeny Jadi Penentu Kemenangan

Skuad Garuda Indonesia usai taklukan Bahrain 1 - 0

Jakarta, suwarakita (25 Maret 2025) – Timnas Indonesia meraih kemenangan penting dengan skor tipis 1-0 atas Bahrain dalam pertandingan kedelapan Grup C Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia putaran ketiga. 

Bertanding di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa malam, Garuda memastikan tiga poin berkat gol tunggal yang dicetak oleh Ole Romeny di babak pertama.

Sejak menit awal, Indonesia tampil percaya diri di hadapan pendukungnya sendiri. Tekanan tinggi yang diterapkan skuad asuhan pelatih  Patrick Kluivert membuahkan hasil ketika Ole Romeny sukses memanfaatkan peluang emas dan mencetak gol yang menjadi satu-satunya pembeda dalam laga ini.

Bahrain mencoba bangkit di babak kedua dengan meningkatkan intensitas serangan, tetapi solidnya lini pertahanan Indonesia membuat mereka kesulitan menembus kotak penalti. Penampilan gemilang kiper Indonesia juga berperan penting dalam menjaga keunggulan hingga peluit panjang berbunyi.

Dengan hasil ini, Indonesia tetap berada di posisi keempat klasemen sementara Grup C dengan koleksi sembilan poin. Garuda hanya terpaut satu poin dari Arab Saudi yang berada di posisi ketiga dan empat poin dari Australia di peringkat kedua.

Perjuangan Indonesia masih panjang, dengan dua pertandingan berat ke depan melawan China dan Arab Saudi. Timnas harus meraih hasil maksimal jika ingin menjaga asa lolos ke putaran berikutnya dalam kualifikasi Piala Dunia 2026. 
Editor : MSar 


Opini: Ormas Minta THR, Antara Kepantasan dan Pemaksaan

Ormas Minta THR, Antara Kepantasan dan Pemaksaan


Belakangan ini, marak berita tentang organisasi masyarakat (Ormas) yang meminta tunjangan hari raya (THR) kepada pengusaha. Bahkan, dalam beberapa kasus, praktik ini bukan sekadar "meminta," tetapi cenderung menyerupai pemaksaan. Pertanyaannya, apakah ini wajar?

Jika merujuk pada regulasi ketenagakerjaan, THR adalah hak yang diberikan kepada pekerja/buruh yang memiliki hubungan kerja dengan pengusaha, baik berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) maupun perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Artinya, THR bukanlah kewajiban yang bisa dibebankan kepada pengusaha di luar konteks hubungan kerja. Maka, ketika Ormas meminta THR—apalagi dengan tekanan—hal ini sudah melenceng dari ketentuan hukum.

Di sisi lain, dalam budaya Indonesia, tradisi berbagi atau memberikan “uang lebaran” memang lazim terjadi, baik dari atasan ke bawahan maupun dari pihak yang lebih mampu kepada yang membutuhkan. Namun, ini bersifat sukarela dan tidak bisa dijadikan dasar bagi Ormas untuk mewajibkan pengusaha memberikan THR kepada mereka.

Sayangnya, ada kecenderungan di mana permintaan THR oleh Ormas justru diiringi dengan intimidasi atau tekanan terselubung. Jika ini terjadi, maka praktik ini tidak ubahnya seperti pemerasan yang berkedok tradisi. Hal ini merugikan dunia usaha dan menciptakan preseden buruk dalam interaksi sosial.

Sebagai negara hukum, tindakan meminta THR dengan cara-cara yang berpotensi memaksa harus diwaspadai. Pengusaha yang mengalami tekanan seharusnya melapor ke pihak berwenang agar tidak terjebak dalam praktik yang merugikan. Ormas seharusnya berperan dalam memberdayakan masyarakat, bukan malah menambah beban dengan permintaan yang tidak berdasar.

Pada akhirnya, kita perlu membedakan antara solidaritas sosial dan pemaksaan terselubung. Jika sebuah Ormas ingin mendapatkan dana untuk operasionalnya, cara yang lebih elegan adalah dengan mencari donasi secara sukarela atau membangun usaha sosial, bukan dengan membebani pengusaha dengan permintaan yang tidak memiliki dasar hukum. Penulis : MSar

Opini : Jangan Takut Bicara, Tapi Pahami Batasnya

Gambar : MSar, Belajar memahami suasana saat sahur, Beropini Jangan Takut Bicara, Tapi Pahami Batasnya

Suwarakita, (Senin,25/3/2025) - Di tengah maraknya kasus korupsi dan ketidakadilan di negeri ini, rakyat sering kali merasa serba salah. Ketika melawan, ada risiko dikriminalisasi. Ketika diam, justru menjadi korban permainan politik. Situasi ini membuat banyak orang memilih jalan tengah: mengeluh tanpa tindakan nyata. Padahal, di era digital ini, suara rakyat bisa menjadi kekuatan besar untuk perubahan.

Namun, ada satu hal yang harus disadari: berbicara itu hak, tetapi harus dilakukan dengan cerdas. Salah berbicara bisa menjadi bumerang. Fakta menunjukkan bahwa banyak orang yang akhirnya terseret masalah hukum karena tidak memahami batasan dalam menyampaikan pendapat. Maka dari itu, penting bagi rakyat untuk tetap kritis, tetapi dengan strategi yang tepat.

Berbicara dengan Data, Bukan Hanya Emosi

Banyak orang yang marah terhadap ketidakadilan, lalu mengungkapkan kekesalannya di media sosial dengan kata-kata kasar atau tuduhan tanpa bukti. Ini justru menjadi celah bagi pihak berwenang untuk menjerat mereka dengan berbagai undang-undang, seperti UU ITE. Oleh karena itu, jika ingin menyuarakan ketidakadilan, gunakan data dan fakta yang valid. Jangan asal menuduh tanpa dasar, karena itu bisa menjadi senjata makan tuan.

Pilih Media yang Tepat

Di era digital, media sosial memang menjadi sarana utama untuk menyampaikan pendapat. Namun, ada cara lain yang lebih efektif, seperti menulis opini di media massa, membuat petisi online, atau berdiskusi dalam forum yang lebih luas. Dengan demikian, suara yang disampaikan tidak hanya sekadar emosi sesaat, tetapi benar-benar memiliki dampak.

Bersikap Kritis Tanpa Menyerang Pribadi

Kritik yang sehat adalah kritik terhadap kebijakan, bukan serangan terhadap individu. Menyebut pejabat sebagai "koruptor" tanpa bukti bisa berujung pada tuntutan hukum. Namun, mengkritik kebijakan yang merugikan rakyat dengan data dan argumen yang kuat adalah hak yang tidak bisa dibungkam.

Gunakan Hukum sebagai Perisai

Banyak orang takut berbicara karena khawatir terkena pasal hukum. Padahal, jika memahami aturan yang ada, justru bisa menggunakan hukum sebagai pelindung. Misalnya, jika ada kasus korupsi, rakyat bisa melaporkannya ke lembaga yang berwenang seperti KPK atau Ombudsman, bukan sekadar berteriak di media sosial tanpa tindakan konkret.

Kesimpulan

Bersuara itu penting, tetapi lebih penting lagi memahami bagaimana cara berbicara yang aman dan efektif. Jangan takut menyuarakan ketidakadilan, tetapi jangan pula asal berbicara tanpa memahami batasnya. Dengan strategi yang tepat, suara rakyat bisa menjadi kekuatan yang tidak bisa diabaikan.

Jika kita ingin perubahan, maka kita harus menjadi bagian dari solusi. Bukan sekadar menjadi korban keadaan, tetapi menjadi rakyat yang cerdas dalam menyuarakan kebenaran. Salam Nalar, Akal Waras. Penulis : Muhamad Sarman. 

Menelisik Ucapan Cak Nun: "Kamu pernah Miskin Apa, Kamu pernah Menderita Apa?" Sebagai Cerminan Kehidupan Sosial

Gambar : Muhamad Sarman bersama Sugiyarno, SH di ruang tunggu BPN Wonogiri

Beberapa waktu lalu, Emha Ainun Nadjib, atau yang akrab disapa Cak Nun, melontarkan pernyataan yang cukup menarik:

"Kamu pernah menderita apa? kamu pernah miskin apa? Kamu pernah puasa kayak apa? kamu pernah tirakat apa? Kamu lancar-lancar semua kok". 

Sepintas, ungkapan ini terdengar santai dan mengundang senyum. Namun, jika direnungkan lebih dalam, ada makna filosofis yang bisa kita gali dari ucapan tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang membawa beban masing-masing. Ada yang tengah berjuang mengatasi masalah ekonomi, ada yang dirundung kesedihan karena kehilangan orang tercinta, ada pula yang merasa baik-baik saja di luar, tetapi sebenarnya bergejolak di dalam. Ucapan Cak Nun ini seperti menyoroti bagaimana kita kerap kali abai terhadap kondisi orang lain.

Di era digital sekarang, orang lebih sering menampilkan citra bahagia di media sosial, padahal realitanya bisa jauh berbeda. Di balik senyum manis yang diposting di Instagram, bisa saja ada air mata yang jatuh di balik layar.

Kembali pada Ucapan Cak Nun, "Kamu pernah menderita apa? kamu pernah miskin apa? Kamu pernah puasa kayak apa? kamu pernah tirakat apa? Kamu lancar-lancar semua kok". Ini bisa jadi sindiran halus dari Cak Nun bahwa dalam kehidupan sosial, sering kali kita sibuk dengan urusan sendiri tanpa benar-benar peduli pada orang lain.

Cak Nun juga menyinggung soal penderitaan. Tidak semua penderitaan terlihat jelas. Kadang seseorang tampak biasa saja, tetapi hatinya mungkin sedang bergulat dengan masalah besar. Sayangnya, dalam masyarakat, ada kecenderungan untuk menghakimi daripada memahami.

Kita sering mendengar orang berkata, "Kamu kan sehat, kerja juga ada, kenapa masih mengeluh?" Padahal, penderitaan tidak hanya tentang fisik atau materi, tetapi juga mental dan batin.

Ucapan Cak Nun ini bisa menjadi pengingat bagi kita untuk lebih peka terhadap orang lain. Jangan buru-buru menilai seseorang hanya dari apa yang terlihat. Bisa jadi teman yang diam sedang butuh tempat curhat, atau orang yang selalu ceria justru menyembunyikan luka hatinya.

Maka, mari kita lebih sering bertanya dengan tulus, "Apa kabarmu? Kamu baik-baik saja?" dan benar-benar mendengarkan jawabannya, bukan sekadar basa-basi. Karena terkadang, perhatian kecil bisa menjadi penyelamat bagi seseorang yang sedang berada di titik terendah hidupnya.

Ungkapan  "Kamu miskin apa?" bisa ditafsirkan dari berbagai sudut pandang, tergantung konteksnya. Bisa jadi ini adalah sindiran sosial terhadap cara pandang masyarakat yang kerap mengkotak-kotakkan orang berdasarkan status ekonomi. Seolah-olah kalau seseorang mengeluh atau meminta bantuan, harus ada verifikasi dulu: "Miskin beneran atau pura-pura?"

Bisa juga ini mempertanyakan: apakah seseorang benar-benar miskin secara materi, atau justru miskin secara mental? Ada orang yang mungkin secara ekonomi cukup, tetapi selalu merasa kekurangan. Sebaliknya, ada yang sederhana tetapi merasa cukup dan bahagia.

Kadang, tanpa sadar, kita sendiri yang membatasi diri dengan merasa "miskin" dalam berbagai aspek—miskin ide, miskin semangat, miskin empati. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar miskin, atau hanya belum menyadari potensi yang kita miliki? Mari Refleksi Diri. 
Penulis : Muhamad Sarman